Wawancara dengan Sr. Yosephine SMSJ, Pimpinan Wilayah Papua (Tulisan ini pernah dimuat Majalah Hidup)
“Ketika lapangan terbang perintis baru saja dibuka di Apowo,
suster-suster SMSJ asal Belanda, yang sudah berkarya di Enarotali ikut
dalam penerbangan perdana itu. Kami baru pertama kali melihat ada
perempuan yang demikian putih dengan pakaian yang juga sangat putih.
Sesaat setelah mendarat, suster-suster yang kelihatan sangat bersih itu
langsung mendekati seorang ibu berpenyakit kanker yang hampir memutus
payudaranya. Tanpa rasa jijik, sambil meneteskan air mata, suster itu
memeriksa luka membusuk yang diderita sang ibu…”

Demikian ketertarikan menjadi suster dirasakan pertama kali oleh Suster Yosephine, pimpinan wilayah Papua tarekat suster SMSJ (
Sorores Minores Sancti Josephi).
Lahir 29 Agustus 1960 di Apowo, sebuah kampung kecil jauh di salah satu
puncak pegunungan di wilayah Kabupaten Dogiyai, di bagian tengah leher
burung pulau Papua. Sampai sekarangpun kampung ini masih sebuah wilayah
yang sangat terpencil. Penduduk setempat perlu empat hari berjalan kaki
dari pusat kabupaten, sementara seorang non-Papua hanya bisa mencapainya
dengan pesawat khusus dari penerbangan misi Katolik. Beliau adalah
putri pertama Mikael Didimus Tekege dan Maria Helma Makai. “Kabarnya
bapak dan ibu dijodohkan oleh P. Smith OFM, misionaris yang membuka
isolasi wilayah ini sekitar pertengahan tahun 50an,” ujarnya yang senang
dipanggil
Sr.Yos. Sebenarnya saat remaja, Sr.Yosephine dijuluki
Ahipi Misai
atau Bunga Surga oleh para kerabat, terutama para pemuda yang tertarik
pada paras dan kepribadiannya, namun ia selalu tersipu malu jika orang
memanggilnya demikian.
Saat rasa tertarik menjadi tantangan
Adalah jasa sang ayah, katekis perdana kampung itu, yang memberi arah
panggilan bagi Sr. Yos, “saat saya keheranan melihat suster-suster
begitu memperhatikan seorang ibu yang terluka itu, bapak menjelaskan
bahwa mereka memang bekerja untuk menolong orang lain. Sejak itu
tertanam ketertarikan kanak-kanak untuk menjadi suster” katanya
menambahkan. Rasa tertarik itu menjadi tantangan bagi
Sr.Yos ketika ia bersekolah di Jayapura dan sekali lagi berjumpa dengan para suster SMSJ.
Melihat para suster Belanda dengan suku bangsa dan budaya yang amat
berbeda tapi mengacuhkan perbedaan itu bahkan lebih melebur dan lebih
perhatian pada kesusahan orang lain dari pada yang ditunjukkan sesama
sukunya membuat
Sr.Yos semakin
terpesona, “saya heran, mereka begitu berbeda dengan kami dan mereka ada
segala sesuatu (berkelimpahan, red), tapi mereka mau menolong
orang-orang yang begitu susah dan begitu terpencil, seperti kampung
dimana saya lahir, dimana orang umumnya segan memperhatikan kesusahan
orang lain karena sudah sibuk dengan kesusahannya sendiri. Sehingga saya
sendiri seperti ditantang untuk masuk dalam kehidupan semacam itu.”
Jiwa mudanya digelitik untuk menggeluti kehidupan para suster SMSJ yang
menurutnya tidak hanya berdoa lalu bekerja di tempat tugasnya dan pulang
tapi para suster Belanda itu selalu menemukan kesibukan untuk bisa
lebih memperhatikan orang lain.
Akhirnya seorang pimpinan sekolah, Sr.Maricen SMSJ membuat tantangan
itu menjadi semakin menggebu-gebu. Keramahan dan perhatian suster itu
pada siswa-siswa yang kurang dalam banyak hal memaksa
Sr.Yos
terus mengaguminya. “Suster itu seperti punya indera lain sehingga tahu
kesusahan yang dihadapi anak-anak.” Pribadi yang menarik ini akhirnya
memang menjerat Sr. Yos tak bisa pergi ke lain hati.
Tapi jalan menjadi suster tidak semulus dugaannya. Saat
Sr.Yos
mengungkapkan niatnya dan mohon izin pada sang ayah yang awalnya
memberi arah pada pilihan hidupnya itu, ia dihadapkan pada kenyataan
tanggung jawab yang nyata sebagai
Umau Tekege, putri pertama dalam keluarga Tekege. Akhirnya, demi kelanjutan pendidikan adik-adik, jadilah
Sr.Yos
seorang guru di Enarotali, kota di tepi danau Paniai yang saat itu
menjadi pusat misi Katolik dengan berbagai kegiatan pembinaan oleh para
misionaris Fransiskan dan terutama para suster SMSJ yang membuka asrama
putri dan sekolah kesejahteraan keluarga. Setelah beberapa tahun
mengajar, Sr. Yos belum lupa akan tekadnya dan kali ini ayahnya menyerah
pada gelora panggilan Allah dalam dirinya, “saya mungkin harus
bertanggung jawab pada Yang Di Atas jika saya melarangmu,”
Sr.Yos mengutip ucapan sang ayah.
Ada beberapa putri Papua telah bergabung dengan SMSJ saat beliau
masuk novisiat. Bersamanya juga ada beberapa rekan lain dari Papua yang
juga bergabung. Benturan budaya dan gejolak kebangsaan serta
perkembangan kesadaran pribadi akhirnya memang menyeleksi panggilan para
suster muda yang bergabung, bukan hanya para putri Papua tapi juga
suster-suster dari aneka suku di Indonesia banyak yang kemudian
mengambil keputusan menanggalkan jubahnya. Kepribadian yang suka
tantangan akhirnya meneguhkan panggilan Sr. Yosephin SMSJ hingga menjadi
anggota Dewan Pimpinan Tarekat sebagai pimpinan wilayah Papua.
Tarekat yang tidak terkenal
“Suster-suster kami melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil” rendah hati
pengakuan Sr. Yos saat ditanya mengapa tarekat SMSJ tidak begitu
dikenal. Tarekat yang didirikan di Heerlan, Belanda oleh seorang imam
diosesan, Mgr. Savelberg ini memang tak banyak diketahui sepak
terjangnya oleh orang-orang kota besar, Jakarta misalnya. Pekerjaan
kecil yang dimaksud oleh Sr. Yos sebenarnya berarti sebaliknya bagi
banyak orang-orang di wilayah terpencil di pedalaman keuskupan Timika.
Di Indonesia semula dikenal dengan nama Dina Santo Yosep, memulai karya
di Papua tahun 1953 di Kaokanao, di sebelah selatan kota Timika jauh
dari pesona emas Freeport, memenuhi undangan misionaris OFM, pohon besar
dimana tarekat ini, seperti dikatakan bapak pendirinya, adalah ranting
terkecil darinya sebagai bagian dari ordo ketiga fransiskan.
Dengan semboyan ‘menolong dimana orang lain tidak mau menolong’ maka
para suster SMSJ memang lebih sering berkarya di wilayah pedalaman yang
terpencil dan minim fasilitas serta jauh dari akses komunikasi. Maka
tidak heran juga jika tarekat ini jarang diketahui karya-karyanya sebab
mereka melayani kaum marginal yang tidak mampu mewartakan pelayanan
mulia para suster kepada umat lain kecuali di antara sesama kaum
marginal juga yang miskin akses terhadap dunia luar. Sr. Yos bergurau,
“pada tahun 90an saja orang di kota Nabire akan bingung melihat kami dan
berpikir kami tarekat baru (di Keuskupan Jayapura saat itu).” Di
pedalaman Papua, mereka sangat berjasa dalam mengembangkan pendidikan
berasrama bagi putera-puteri Papua, memberikan ketrampilan dasar untuk
kesejahteraan keluarga bagi para ibu dan di tengah keterbatasan dana
yang menunjang karya, mereka juga melayani bidang kesehatan sederhana
kala unit-unit pelayanan kesehatan belum didirikan oleh pemerintah. Di
awal-awal misi di Papua, para suster SMSJ memberikan pertolongan yang
sangat berarti bagi pewartaan Injil di wilayah Keuskupan Timika dan
Jayapura saat ini.
Berpusat di Lota, Menado dengan karya tersebar di Papua, Kalimantan,
Flores dan Maluku, tarekat yang konsisten berkarya di wilayah sulit ini
memang tak putus bergumul kesulitan. Menjelang tahun 80an tenaga suster
misionaris semakin sedikit karena berkurangnya panggilan di Belanda
sementara calon dari Indonesia baru dimulai dan beberapa suster
terserang malaria atau kolera yang merupakan penyakit khas di wilayah
Papua, membuat mereka harus menutup beberapa komunitas misi di keuskupan
Timika. Kesulitan lain muncul berkaitan dengan karakteristik karya
tarekat yang umumnya di wilayah pedalaman dengan akses komunikasi
terbatas membuat tarekat ini juga sedikit mendapat bantuan keuangan
sebab para donatur yang umumnya tinggal di kota besar tidak mengenal
SMSJ. Tambahan lagi, saat kerusuhan melanda wilayah ambon, tanah dan
rumah komunitas di Bacan, pulau kecil di selatan Ternate dirampas dan
tak bisa diambil kembali. Bahkan rumah sakit di Ternate yang berdiri
sejak tahun 50an tak luput dari keberingasan perusuh. Ketika para suster
hendak berkarya kembali di tahun 2003, rumah sakit rusak berat dan
didapati kosong sehingga nyaris mustahil menyediakan kembali peralatan
kesehatan dengan keterbatasan dana tarekat.
Menolak kalah
Mahalnya biaya misi di pedalaman Papua, di mana harga bensin tak kurang dari
Rp.15.000,-
per liter saat di banyak kota harganya turun tiga kali, tidak membuat
suster-suster perkasa ini mundur. Dengan kesederhanaan dan keuletan,
sebuah komunitas baru didirikan lagi di keuskupan Timika tepatnya di
kota Nabire. Menurut Sr. Yos, kini mereka hendak mempromosikan inti
spiritualitas hamba yang siap menolong kepada semakin banyak orang agar
merekapun bisa semakin banyak menolong orang dimana tidak ada yang
menolong. Beliau banyak mendukung Sr. Juliva Motulo SMSJ, pemimpin
komunitas Nabire agar membuat banyak terobosan baru dengan program PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini), membantu pembiakkan babi, sumber protein
penting di Papua dan mempersiapkan pemuda-pemudi asli Papua yang akan
dikirim ke sekolah pertanian di Jawa dan Manado. Walau berada di tengah
kota Nabire, komunitas yang didirikan untuk menjadi pendukung misi
komunitas SMSJ di pedalaman ini, tidak betah tinggal di kota dan
merekapun merambah ke timur, menerobos sampai ke pinggiran hutan-hutan
sekitar Legari untuk menolong petani-petani miskin asal Timor yang
datang terayu program transmigrasi pemerintah.
Para suster mau terus berkarya dengan keyakinan kuat akan
penyelenggaraan Illahi, “bapak pendiri memberi nasehat: Allah sudah
menolong, Allah sedang menolong dan Allah akan selalu menolong” demikian
spiritualitas SMSJ diyakinkan
Sr.Yos.
Bunga Surga ini menyemangati para suster lemah lembut asal Menado,
Ambon dan Toraja yang semakin perkasa walau kulit mereka yang semula
putih halus berubah makin kasar dan gelap menjelajah alam keras medan
misi keuskupan Timika sekedar untuk menolong seseorang dimana anda
mungkin akan merasa berat untuk menolong. (enakidabi)